BATU- Kisah Jasmine Sefia Wainy menggugah banyak pihak bahwa selama ini ada dua kutub berbeda yang saling tarik menarik dan semuanya begitu penting bagi masa atlet itu sendiri.
Membaca pernyataan Jasmine di Instagram pribadi Jasmine, terlihat siswa berprestasi ini seperti makan buah simalakama. Dimakan bapak mati tidak dimakan ibu mati, hingga akhirnya ia pun memilih salah satu yang menurutnya terbaik.
“Saya Jasmine mohon maaf sebesar-besarnya kepada semua publik, saya tak ingin bebani ayah..mending untuk hari ini dan seterusnya saya putuskan untuk berhenti sekolah dan bermain sepak bola.. majulah Indonesia majulah Indonesia,” begitu tulisan Jasmine di Instagram pribadinya.
Banyak nitizen yang menyayangkan, semua berharap Jasmine tetap bisa sekolah namun juga berprestasi di olahraga. Masalah buah simalakam seperti yang dialami Jasmine ini sebenarnya banyak dialami atlet lain, dibutuhkan sebuah win-win solution dari permasalahan ini agar atlet bisa berjaya di cabang olahraga yang ditekuninya, namun juga sukses di akademisi yang akan menunjang masa depannya.
Bagaimana dengan di luar negeri. Di China pada masa lalu anak-anaknya ditempatkan di sekolah-sekolah yang mencetak para muridnya menjadi atlet. Cara mereka mendidik generasi mudanya di bidang olahraga terbukti berhasil sejak negara itu bergabung kembali pada Olimpiade tahun 1980.
Pada Olimpiade 2008 yang diselenggarakan di negaranya sendiri, China berhasil menduduki peringkat pertama. Sedangkan pada Olimpiade 2012 di London, hasil kerja keras para atletnya membuahkan hasil di posisi kedua, di bawah Amerika Serikat.
Namun, perubahan terjadi di China karena negara tersebut berkembang menjadi lebih makmur dan berfokus pada berbagai bidang pendidikan. Seperti dikutip dari liputan6.com, saat ini, lebih sedikit orangtua yang bersedia membiarkan anak-anak mereka menuntut ilmu di sekolah olahraga yang memicu penurunan jumlah siswa.
Dikutip dari Daily Mail, Jumat (20/5/2016), beberapa sekolah olahraga telah tutup, sementara yang masih buka menyesuaikan sistem pendidikannya. Sulitnya atlet ketika menghadapi masa pensiun dan meningkatnya standar pendidikan di kaum menengah China menjadi penyebab perdebatan sekolah olahraga dan orang tua memutuskan memilih sekolah lain.
Penyebab lainnya adalah menurunnya tingkat kelahiran akibat peraturan satu anak di China serta beratnya sistem pendidikan di negara tersebut. Pada tahun 2010 kebijakan baru yang dikenal dengan nama dokumen 23 dikeluarkan. Pemerintah berpesan kepada sekolah olahraga untuk meningkatkan standar gurunya dan memberi dukungan bagi atlet yang telah pensiun.
Di sekolah olahraga Pudong New Area, Huang mengatakan bahwa sekolahnya telah meningkatkan kualitas guru. Pada 3 tahun lalu, lembaga pendidikan tersebut juga telah menghentikan tradisi selama 40 tahun yang menyuruh siswanya untuk belajar, berlatih, dan hidup di kampus.
Di sekolah lain seperti Shanghai Yangpu Youth Amateur Athletic School, menawarkan kegiatan gimnastik yang disampaikan dengan cara menyenangkan kepada anak-anak TK setelah bersekolah. Di sekolah olahraga Shichahai, mereka menawarkan pengembangan siswa yang komprehensif dan membekali para atlet dengan kemampuan untuk hidup setelah pensiun dari olahraga. Pada April, China Sports Daily melaporkan bahwa atlet China yang dilatih untuk cabang olahraga tenis meja telah menurun hampir seperempatnya sejak 1987 menjadi 23.266.
Dalam inspeksi ke beberapa sekolah di 9 kota dan provinsi Maret lalu, pemerintah menemukan bahwa sekolah olahraga tak banyak menganggarkan biaya di bidang pendidikan.
Mantan atlet profesional berusia 25 tahun, Wang Linwen, yang mewakili Provinsi Shanxi dalam cabang olahraga wushu mengatakan pendidikan sangat penting bagi siapa pun yang ingin bergabung di sekolah olahraga. Selama 5 tahun hingga ia pensiun pada 2009, Wang mengisinya hari kerjanya dengan berlatih dan hanya pada akhir pekan ia belajar. “Aku kehilangan banyak hal karena aku tak memiliki pengalaman di bidang pendidikan, perubahan sistem merupakan hal yang baik, itu mencegah para atlet yang telah keluar sekolah tak tahu apa-apa.” ujarnya.
Sama seperti di Indonesia, butuh sebuah kebijakan yang membuat atlet bisa berprestasi di olahraga namun juga tidak tertinggal di bidang pendidikan. Butuh duduk bersama antar stake holder dalam sebuah forum diskusi, agar didapatkan sebuah formulasi kebijakan yang berpihak pada atlet. (HMS)